Gambar: Danau Ranu Regulo
Mendung
hitam tebal menggelantung di langit, gerimis turun, memberikan isyarat
lebih baik berdiam diri di rumah. Tapi itu semua tidak membatalkan
perjalanan para Kalakeya menuju danau Ranu Regulo, di daerah desa Ranu
Pane, kecamatan Senduro, kabupaten Lumajang. Rombongan Kalakeya
berjumlah 16 orang berangkat dari Malang dengan mengendarai sepeda
motor. Berangkat dari Malang pada pukul 15.00 WIB. Perjalanan ini
diperkirakan memakan waktu 2 jam, berarti sampai di sana pukul 17.00
WIB.
Perjalanan menuju arah timur kota Malang melewati jalur Tumpang. Ketika
sudah sampai di daerah perbukitan, kabut tebal menyelimuti sepanjang
jalan. Tidak ada yang bisa kami lihat di kanan kiri selain pohon yang
berada dekat sebagai pembatas jalan. Jarak pandang ke depan hanya
beberapa meter. Keadaan ini cukup berbahaya; jalan yang sempit di atas
perbukitan, jalan bebatuan yang kasar, juga ramai kendaraan sehingga
kami harus berhati-hati. Di tambah lagi dengan hawa dingin yang menusuk
menembus hingga tulang membuat terasa beku.
Menyusuri jalan yang tidak mulus ini membuat rombongan cukup kelelahan
sebelum sampai tujuan, sehingga kami memutuskan untuk berhenti beberapa
saat untuk istirahat, juga menunggu teman yang ketinggalan di belakang.
Kami berhenti di desa Ngadas, ujung timur daerah Malang, perbatasan
dengan daerah Lumajang. Desa itu berselimut kabut putih, jika kami boleh
mengkhayal; kami seperti berada di atas awan. Dan di desa Ngadas itulah
beberapa suku Tengger bertempat tinggal.
Gambar: Penduduk Desa Ngadas Pulang Dari Sawah
Ketika sudah sampai di desa Ranu Pane ternyata sudah petang. Kami
langsung memarkir di tempat yang telah disediakan, kemudian berjalan
kaki menuju camp ground di sekitar danau Ranu Regulo. Kami berjalan kaki
menapaki jalan setapak diiringi oleh gerimis hujan dan pekat malam,
juga dingin tentunya. Ternyata di sana sudah ada pencinta alam Kompas
dari Universitas Brawijaya yang sudah dulu mendirikan tenda di sana, dan
kami harus mencari tempat lain. Kami terus menyusuri jalan setapak,
yang kemudian kami dihadang oleh air yang menggenang di tengah-tengah
perjalanan malam itu. Keadaan itu sempat meragukan untuk melanjutkan
perjalanan kami untuk mencari tempat mendirikan tenda. Sempat berpikir
untuk mendirikan tenda di dekat dengan anak-anak Kompas, tapi setelah
diperiksa ternyata genangan air itu tidak dalam.
Setelah menemukan lahan yang cukup luas, kami langsung mendirikan tenda
di tempat itu. Yang mengejutkan ternyata di tempat kami akan
mendirikan tenda, ada satu tenda dengan cahaya remang-remang dari dalam.
Nampak dari luar, siluet sepasang kekasih yang sedang memadu kasih.
Kedatangan kami pasti akan mengganggu keromantisan mereka, tapi tidak
ada pilihan yang lebih baik selain mendirikan tenda di sebelah tenda
“romantis” tadi.
Sepanjang malam tidak ada keindahan alam yang kami rasakan, karena
angin dan hujan datang sepanjang malam. Tentu saja keadaan ini memaksa
kami untuk tinggal di dalam tenda masing-masing dari pada berada di luar
berhawa sangat dingin. Menyalakan api unggun sangat tidak mungkin
karena bahan bakar semuanya basah oleh air hujan.
`Keindahan alam baru kami rasakan keesokan harinya. Saat pagi datang,
langit biru terhampar di langit. Sebagain dari kami baru menyadari
dimana kami berada, sebab saat kami pertama datang, keadaan sudah sangat
pekat; kami tidak bisa melihat apa saja yang ada di sekitar, kecuali
hamparan air tenang danau Ranu Regulo dalam gelap, di samping kami
mendirikan tenda.
Saat
keadaan sudah terang oleh cahaya mentari, danau Ranu Regulo ternyata
berada di tengah lingkaran bukit. Kami semakin takjub dengan kedatangan
cahaya matahari dari balik bukit yang menjanjikan keindahan dan
kehangatan setelah kedinginan sepanjang malam. Beberapa saat kemudian,
mata kami dimanjakan dengan kedatangan pelangi yang berangkat dari
tengah danau menuju ke atas langit. Keindahan yang luar biasa yang tidak
pernah kami bayangkan.
Gambar: Tenda Kalakeya di Pinggir Danau
Dari
atas bukit yang berada di sekitar tenda kami berdiri, kami dapat
menikmati keindahan alam yang sangat luar biasa. Bunga-bunga liar warna
ungu bergoyang-goyang diterpa angin sepoi berdiri liar di hamparan kaki
bukit. Air danau Ranu Regulo terlihat tenang dengan ombak-ombak kecil,
tertimpa cahaya matahari sehingga menciptakan kilau cahaya kecil
berkelip-kelip seperti bintang-bintang di atas danau. Di sebelah ujung
sana, di balik bukit yang berseberangan dengan bukit kami berdiri
menikmati pemandangan, tampak gunung Semeru yang berdiri kokoh berhias
awan putih. Paduan alam ini memberikan komposisi pemandangan alam yang
sangat luar biasa indahnya. Satu hal lagi yang tidak pernah kami
bayangkan, ternyata di balik bukit, dari puncaknya, kami dapat menikmati
hamparan awan. Kami menyebutnya itu adalah “negeri atas angin”. Sebab,
di sana tidak ada apa-apa kecuali hamparan awan putih di atas langit.
Hari
saat kami melalakukan perjalanan ini bertepatan dengan hari air
sedunia. Untuk ikut merayakan hari itu, kami melepaskan 18 ekor ikan ke
dalam danau Ranu Regulo. Pelepasan ikan tersebut adalah bentuk harapan
kami semoga keharmonisan alam tetap terjaga kelestariaannya dan juga
simbol kepedulian kami pada alam, tempat manusia manusia hidup di dunia.
Saat
hari sudah siang, kami membereskan tempat bersiap untuk pulang. Sebelum
pulang kami sempatkan untuk menyedu minuman hangat bersama-sama di
pinggir danau. Tentu saja, rasanya sangat berbeda ketika menyedu sendiri
di rumah. Nikmat sekali, berbeda sekali. Tidak lupa juga melakukan
kegiatan yang berbau narsis; foto bersama.
Kelelahan
adalah sebuah harga yang harus kami bayar. Keindahan yang
dipersembahkan alam yang kami rasakan berbanding lurus dengan kepayahan
yang kami rasakan. Akhirnya, kami berharmoni dengan alam di Ranu Regulo
dengan selamat dan kembali pulang dengan kebahagiaan yang melekat di
hati kami masing-masing.
Gambar: "Negeri Atas Angin
Gambar: Pelangi Di Danau Ranu Regulo
Gambar: Danau Ranu Regulo dan Semeru
Gambar: Bunga Liar di Kaki Bukit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar